December 15, 2012

Tiga Puluh Hari Yang Lalu

Hai, kamu, iya kamu.

Masih ingat di siang bolong bulan november lalu ketika dengan bodohnya kamu mengirim pesan bahwa kita lebih baik tidak melanjutkan semuanya?
Dengan lelah yang sudah terakumulasi, aku mengira kalau kamu hanya bercanda namun mimpi apa yang datang pada bolongnya siang.

Mereka hanya kumpulan kata-kata yang kau rangkai sedemikian rupa, namun bagiku kalimat itu seperti kepalan tangan Mike Tyson yang dengan tanpa ampunnya mendarat di dadaku. Membacanyapun bagai mengunyah antibiotik yang diberi dokter setiap aku terkena radang.
Namun momen setelah kejadian itulah yang kini meninggalkan radang di hatiku.

Baris kata yang kau kirim sangat jujur, malah dapat kurasakan sampai sekarang bahwa saat itu bukan hanya tulisan polos saja namun aku dapat mendengar suara sengaumu menyuarakannya. Menyuarakan bahwa delapan belas hari yang kita punya bukan apa-apa namun hanyalah serangkaian tanggal di mana suasana membuaimu.

Pesanmu bagai tamparan ketika aku membacanya berulang-ulang karena untuk bernapaspun aku sulit apalagi untuk mencerna tiap kalimatmu. Dering handphoneku saat itu terdengar bagai tiup sangkakala ketika aku selesai mengirimkan balasan yang hanya berisikan satu kata,
"Mengapa?"
Bukan gempa yang menggoyangkan tanah di bawahku namun balasan pesan yang kau kirim untukku.
"Perasaanku sejak awal tidak pernah berlebih dan sekarang aku tidak sayang sama kamu. Maaf."
Percayalah bisa kudengar suara petir meski langit sangat biru dan cerah di luar sana. Selanjutnya sangat buram untuk diingat karena dapat kupastikan bahwa untuk membalasnyapun aku kehabisan kata-kata.
Kamu membanjiriku dengan kalimat yang seakan-akan aku tidak punya hati yang bisa disakiti, kejam, terlalu jujur. Entah apakah memang itu yang kamu alami atau hanya kebohongan belaka yang bisa membebaskanmu dariku. Terbawa suasana katamu. Kamu menyalahkan suasana, lalu bagaimana dengan hatimu? Apa rasa sayang yang kamu deklarasikan di atas bianglala itu termasuk hasil buaian suasana?

Selanjutnya kalimat berjuntaian dalam kepalaku dan semuanya berawal dengan 'kukira'.
Kukira kamu bisa berubah dengan kesempatan yang aku kasih.
Kukira kita akan bahagia bersama
Kukira kita benar-benar bisa pergi ke Italia
Kukira , kukira, kukira !
Kata itu membuat mataku terasa seperti tersengat, pedih namun sakit di dadaku lebih luar biasa.
Sampai-sampai hanya beberapa bulir air mata saja yang lolos, sisanya tersamarkan denyutan rasa sakit.

Tersendat-sendat aku mengetik balasan untuk pesanmu yang kejam.
Amarah, kecewa, sedih semuanya tak mau kalah, meminta untuk dicantumkan dalam pesanku.
Tetapi kepalaku tak cukup sehat untuk memilih mana yang harus mendominasi kalimat-kalimatku dan ya pada akhirnya aku hanya sanggup berterima kasih dan membubuhkan satu kalimat yang mewakili rasa kecewaku.
"You suck."
Tak butuh lama untuk kamu membalas pesanku namun untuk apa lagi membalas pesanmu ketika semuanya sudah tersingkap jelas, sejelas kristal.

30 hari sudah aku berusaha sepenuh hati untuk tidak muntab ataupun berlari kembali di hadapanmu dan memohon untuk pergi berdua naik bianglala seperti dulu. Tapi aku bahkan ragu sampai sekarang jika semuanya hanya berdasarkan buaian suasana.

Aku bertanya-tanya apakah bahkan momen terindah itu, ketika di atas bianglala, apakah kau benar-benar ingin dan sayang aku?

Aku tidak bisa membuat kepalaku jauh dari pertanyaan, "apakah ketika dia memegang tanganku karena benar-benar ingin atau hanya karena suasana membuatnya terlalu menghayati peran?"

Tiap kali pertanyaan itu muncul, bulu romaku berdiri membayangkan jawabannya. Karena jika memang ia sanggup menjawabnya, sudah pasti akulah si Bodoh yang dengan sukarela memberinya kesempatan untuk membodohi karena sebenarnya semua tampak jelas dari awal. Hanya aku saja yang terlalu yakin bahwa kamu bisa berubah.

Namun aku yakin dengan bantuan Tuhan, teman dan hal-hal lain semuanya akan terlewati. Dengan kehidupan yang persis roda, dengan pepatah "kau akan menuai apa yang kau tanam" semuanya akan terasa adil. Amarahku tidak butuh dendam, jika suatu hari nanti kamu akan merasakan hal yang sama, hal yang kurasakan pada siang bolong 15 november lalu.

Terima kasih kamu mau terbuai oleh suasana pada saat itu. Terima kasih juga kamu telah berhasil meyakinkan seorang aku untuk mencintai setiap detail kebohonganmu. Kamu membawakanku sedikit perubahan, banyak pelajaran dan secercah rasa sakit serta sebuah lubang yang masih menganga. Entah bagaimana kabarmu di luar sana, tapi kuharap kau...entahlah. Menyadari apa yang telah kau lakukan?

No comments:

Post a Comment